Rumah yang Sedang Kita Bangun Bersama
Sudah 12 tahun lamanya mereka menunggu hari ketika rumah Tuhan ini berdiri kokoh, lengkap, dan layak. Namun hingga kini, pembangunan fisik baru sekitar 60%. Dinding-dindingnya menyimpan doa yang belum selesai; atapnya menadah angin dan hujan, sementara halaman yang sempit tak sanggup menampung semua umat pada misa besar dan kegiatan liturgi lainnya.
Di balik setiap bata yang tertumpuk, ada nama, ada keluarga, ada harapan kecil yang menginginkan tempat bernaung—bukan hanya dari panas dan hujan, tetapi dari rasa letih dan cemas. Gereja ini adalah pusat spiritual, sosial, dan budaya; tempat anak-anak belajar mengeja doa, orang tua merenda damai, dan seluruh umat memaknai kebersamaan.
Sentuhan Kasih yang Dinantikan
Mereka tidak meminta yang mewah, hanya kepadatan yang lega, bangku yang cukup, dan atap yang meneduhkan. Mereka menantikan sentuhan kasih dari kita semua—agar pelita iman tak sekadar menyala, tetapi menyinari lebih jauh: ke rumah-rumah yang sederhana, ke perahu-perahu yang berlayar, ke ladang-ladang yang menunggu panen.
Mungkin sumbangsih kita tak seberapa di mata dunia, namun di mata mereka, sebuah batu adalah pijakan, sebatang kayu adalah pelindung, dan setitik perhatian adalah jawaban doa.
Mari Berdiri Bersama
Jika hati Anda tergerak, mari kita tamatkan kisah yang baik ini. Kita bisa memulai dari hal kecil: mendoakan, mengabarkan, dan berbagi sesuai kemampuan. Karena yang membangun gereja ini bukan sekadar tukang dan bahan bangunan, tetapi kita semua yang percaya bahwa kasih dapat menjelmakan tembok menjadi pelukan, dan atap menjadi langit pengharapan.
Pada akhirnya, ketika lonceng pertama berdentang di rumah Tuhan yang sempurna, gema itu akan membawa nama Anda—dan kita semua—yang memilih untuk tidak menunggu keajaiban, melainkan menjadi bagian darinya.